Rabu, 26 Maret 2014

Seragam biru kakak

Kakak pulang minggu lalu setelah bertahun merantau menuntut ilmu. Tak ada yang berubah dari kakak, hanya gurat kedewasaan dari sikapnya memperlakukan aku dan bapak ibu yang terasa berbeda. Mungkin rindu yang membuatnya tak lagi acuh tak acuh padaku, pada ibu. Kakak pulang membawa seragam kebanggaannya yang bewarna biru. Seragam yang sangat istimewa menurutku. Bukan karena untuk mendapatkannya harus menyingkirkan orang berpuluh ribu, namun perlakuan istimewa ibu pada seragam itu. Seragam itu kembuat kakakku menjadi buah bibir di desaku. Membuat banyak tetangga menggoda kakakku dengan anak gadis mereka. Seragam itu pula yang kata bapak menandakan aku masih bisa melanjutkan sekolahku hingga aku bisa memakai seragam putih abu-abu, bekas kakakku dulu. Kakak terlihat begitu gagah dibalut seragam biru, ada pangkat berkilau di kedua bahu.
Namun tidak cukup sampai disitu. Keistimewaan seragam biru semakin bertambah di mataku saat aku melihat ibu. Ibu yang menatap dengan mata berkaca-kaca pada foto kakak yang berseragam biru sembari menahan rindu. Keluarga kami memang tergolong keluarga yang pas-pasan. Bapak tidak mampu mengirimi kakak uang bulanan. Kakak sepenuhnya hidup dari jernih payahnya di ibu kota. Itu pula sebabnya kakak tidak seperti teman-temannya yang bisa pulang setiap kali liburan tiba.
Kemarin malam saat semua tertidur aku masih sempat melihat ibu menyelesaikan setrikaan baju yang menumpuk. Dan saat menyeterika seragam biru kakak, aku dengan sangat yakin melihat bibir ibu bergerak-gerak. Ibu berdoa untuk kakak saat menyeterika seragamnya. Ibu melipat seragam itu dengan sangat hati-hati dan dengan tatapan curahan seluruh kasih yang ibu miliki. Sejak saat itu aku berjanji pada diriku, aku akan membuat ibu bangga padaku. Aku akan seperti kakakku, aku juga akan memiliki seragam biru.

Beberapa tahun telah berlalu sejak saat itu. Kini aku bapak dan ibu tengah berada di ruangan megah dengan dekorasi mewah. Ibu dan bapak terlihat kikuk sekali saat awal memasukinya. Kini lagi-lagi aku melihat sorot haru ibu, setetes air mata meluncur dari gurat wajahnya yang tak lagi muda. Ibu menatap kakakku yang kini tak lagi berseragam biru. Kakak mengenakan setelan jas hitam di hari kelulusan. Gagah luar biasa. Dan tak hanya mendedikasikan semua usahanya menjadi wisudawan terbaik untuk ibu, kakak juga memberi ibu seorang calon menantu. Gadis manis berjilbab ungu yang berprofesi sebagai seorang guru. Aku hanya tersenyum menatap semua moment indah ini dan berdiri di samping ibu. Dengan seragam biru milikku.